JAKARTA (dan tentunya Indonesia) dengan lekas menjadi buah bibir, khususnya bagi khalayak penggemar film. Bukan hanya karena dua aktor kawakan Indonesia, Christine Hakim dan Yayu Unru, menampilkan akting nan memukau, tetapi juga keduanya tampil dalam dialog berbahasa Indonesia di film yang sudah mendunia tersebut.
Film The Last of Us sontak disambut gempita oleh para penggemarnya, mengingat alur ceritanya yang selaras dengan situasi terkini, yakni tentang wabah yang menghancurkan umat manusia sedunia. Alur cerita yang menegangkan plus akting para pemeran yang ciamik kian menambah daya pikatnya.
Tidak ada yang perlu berkecil hati jika diceritakan wabah jamur Cordyceps yang mengubah manusia menjadi zombi ini bermula dari Jakarta. Dunia pun mafhum, toh ini kan hanya film, atau hanyalah cerita fiksi. Siapapun menyadari, namanya wabah dapat muncul darimana saja, seperti COVID-19 yang bermula dari Wuhan, China.
Di film ini, wabah digambarkan lebih ganas. Manusia-manusia berubah menjadi zombi, seluruh dunia remuk-redam. Hanya sedikit sekali manusia tersisa, itu pun mati-matian bertahan dari serangan virus dan juga zombi. Benar-benar cocok sekali judul film ini; The Last of Us.
Tidak mudah bertahan menjadi manusia terakhir di permukaan bumi. Namun, kehidupan haruslah dipertahankan, meski perjuangannya amatlah terjal. Manusia memang makhluk yang lemah, tetapi mental baja yang membuat mereka tidak pernah menyerah.
Sebaiknya, jangan berhenti hanya pada menikmati tayangan film ini saja, ya. Sebab, pandemik COVID-19 ini sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi seluruh umat manusia. Kita memang tidak boleh lengah sedikit pun tentang wabah yang dapat mengancam kapan saja dan di mana saja.
Intinya, jangan pernah lengah!
Sebelumnya, sudah ada beberapa film yang mengangkat tema wabah, tapi di masa itu penonton hanya menanggapinya sebagai hiburan belaka. Barulah di saat COVID-19 merajalela ke seantero dunia, yang menelan jutaan korban nyawa, barulah umat manusia tersentak.
Kalau mau merujuk lebih jauh, berabad-abad yang lampau Nabi Muhammad sudah mewanti-wanti perihal wabah, yang dikenal dengan sebutan tha’un. Nawawi dalam buku Lentera Kehidupan: Menghadapi Dunia Kacau (2022: 56) menjelaskan: Dari Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw, Aisyah berkata, aku bertanya kepada Rasulullah Saw tentang tha'un.
Rasulullah lalu menjawab, “Sesungguhnya wabah tha'un adalah ujian yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah juga menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang beriman. Tidaklah seorang hamba yang ketika di negerinya itu terjadi tha'un lalu tetap tinggal di sana dengan sabar dan mengharap pahala di sisi Allah, dan pada saat yang sama ia sadar tak akan ada yang menimpanya selain telah digariskan-Nya, maka tidak ada balasan lain kecuali baginya pahala syahid.”(HR Bukhari)
Dari bibir sucinya Rasulullah memberikan petuah demi keselamatan umat manusia, bahkan beliau juga menerangkan solusi berupa karantina. Itu artinya, wabah bukanlah untuk disepelekan. Karena tidak lama setelah itu, di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, tha’un melanda Syam dengan dahsyatnya.
Namun, pandemi itu terjadi berulang-ulang kali dan tanpa ampun merenggut banyak sekali nyawa manusia. Nawawi (2022: 57) menjelaskan: Dalam sejarah, pandemi yang paling mematikan adalah “Maut Hitam” (The Black Death) yang melanda Timur Tengah dan Eropa mulai 1347 M hingga pertengahan abad ke-5.
Bencana panjang ini telah menewaskan hampir 60 persen populasi penduduk Eropa di abad pertengahan. Indonesia sendiri pernah mengalami pandemik mematikan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, termasuk flu Spanyol pada 1918.
Setiap tontonan yang baik dapat dijadikan tuntunan, bahkan di setiap musibah juga terselip hikmah. Pun petuah Rasulullah Saw hendaknya merupakan pegangan bagi seluruh umat manusia, tidak perlu ketakutan selama kita senantiasa waspada terhadap wabah. Jangan sampai kita menjadi manusia terakhir disebabkan sikap lengah yang melenakan.
KOMENTAR ANDA